Kewenangan Presiden Dalam Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Menurut Konsep Negara Hukum (Studi Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) | |
---|---|
ABSTRAK Dede, Stambuk H1 A1 15 074, Judul Penelitian “Kewenangan Presiden dalam Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan menurut Konsep Negara Hukum (Studi Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI))” dibimbing oleh Heryanti, SH., MH sebagai Pembimbing I dan Dr. Guasman Tatawu. SH., MH sebagai Pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan presiden dalam pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia dalam konsep negara hukum. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan melakukan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian bahwa Kewenangan presiden dalam permbubaran Organisasi Kemasyarakatan HTI tidak sesuai dengan konsep negara hukum, seharusnya yang berwenang membubarkan Organisasi Kemasyarakatan HTI adalah Yudikatif karena dalam sebuah negara hukum yang memegang kekuasaan mengadili atas pelanggaran terhadap Undang-Undang ada pada Yudikatif. Wewenang permbubaran Organisasi Kemasyarakatan yang tersentralistik pada eksekutif akan melahirkan Negara kekuasaan, bukan Negara hukum. Dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan akan tetapi disisi lain pemerintah itu sendiri yang mengadili atas pelanggaran terhadap Perppu Organisasi Kemasyarakatan tersebut. Hal demikian yang menjadi bukti bahwa kekuasaan terpusat pada pemerintah yang dapat memicu pemerintah menjadi diktator atau sewenang-wenang. Kekuasaan yang terpusat pada satu tangan akan menyebabkan tidak terjaminnya hak-hak warga negara, maka dari itu pembatasan kekuasaan dalam sebuah negara hukum mulak adanya. Menurut Yusril Ihza Mahendra kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sesuatu yang dilarang melainkan adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 sehingga jika negara ingin mencabut hak tersebut maka diperlukan putusan pengadilan yang sudah tetap. Menurut Mustafa Fakhri mengatakan bahwa terdapat diferensiasi antara izin dan pengesahan. Dalam penerbitan izin, pemberi izin memang dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu. Namun khusus untuk pengesahan, Fakhri menjelaskan bahwa instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat begitu saja mencabutnya, kecuali ada syarat formal yang dapat membatalkan pengesahan tersebut. Logika yang digunakan pemerintah menggunakan asas contrarius actus tersebut juga sangat berpotensi digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah, seperti yayasan dan partai politik. |
|
Pernyataan Tanggungjawab | |
Pengarang | Dede - Personal Name |
Edisi | |
No. Panggil | |
ISBN/ISSN | |
Subyek | Hukum tata Negara |
Klasifikasi | |
Judul Seri | |
GMD | Text |
Bahasa | Indonesia |
Penerbit | F-HUKUM/Hukum Tata Negara |
Tahun Terbit | 2019 |
Tempat Terbit | UHO KENDARI |
Deskripsi Fisik | vii,61 hal,;28 cm |
Info Detil Spesifik | |
Lampiran Berkas | LOADING LIST... |
Ketersediaan | LOADING LIST... |